Peristiwa
ini berawal dari kekesalan seorang gadis bernama Dinda terhadap
seorang ibu hamil yang meminta tempat duduk di kereta api yang dituangkan
dalam akunya pada jejaring sosial Path pada bulan April 2014. Dinda marah dan
kesal pengorbanannya bangun pagi demi mendapatduduk di KRL diganggu oleh wanita
hamil itu. Semua keluh kesah tentang ibu hamil yang meminta kesediaannya
memberikan tempat duduk ditumpahkan ke jejaring sosial media tersebut. Dinda
menyebut wanita hamil itu manja dan pemalas karena tak mau bangun lebih pagi
atau ke stasiun untuk mendapatkan duduk.
Saat Dinda
memposting statusnya tersebut, teman-temannya mendukung kebencian Dinda. Bahkan
ada yang memberikan tips agar tak terganggu oleh ibu hamil yang meminta tempat
duduknya. Kekesalan Dinda yang di publikasikan ke sosial media Path ini
dicapture oleh temannya dalam sosial media, tidak hanya pada Path saja, bahkan
sampai ke twitter, facebook, blog, website dan berujung menjadi sebuah berita
yang hangat dalam stasiun televisi.
Berikut
adalah ungkapan kekesalan Dinda pada ibu hamil dalam jejaring sosial media Path
Path
diciptakan untuk berbagi momen hanya dengan maksimal 150 orang terdekat. Maka
jika diperhatikan, sering sekali ada obrolan-obrolan yang sifatnya pribadi dan
cenderung bebas di Path karena dirasa 150 orang yang menjadi teman disitu, bisa
dipercaya. Tapi dalam kasus Dinda ini, justru karena ternyata ada satu-dua
orang temannya yang meng-capture dan menyebarkan ‘curhatannya’ itu bahkan
sampai tersebar di jejaring sosial media lain seperti Twitter dan Facebook.
Makian yang di-capture dan disebarkan lagi melalui media sosial lain tak pelak
mengundang reaksi keras. Berbagai hujatan ditujukan kepada Dinda, seakan tidak
percaya ada seorang perempuan yang tidak punya empati terhadap
sesamanya–terutama kepada mereka yang sedang hamil.
Berikut
adalah Komentar dari para pengguna jejaring sosial media
Dalam
screenshoot komentar tersebut, akun dari jejaring sosial media lain pun turut
ramai menghujat atas kasus Dinda, Dinda menjadi bahan pembicaraan dan bullyan
di sosial media, bahkan ada yang sampai berkomentar yang tidak sesuai dengan
peri kemanusiaan.
Selain itu
banyak yang memanfaatkan kasus ini, untuk kepentingan pribadi,bahkan sebagai
bahan parodi ( lelucon ) yang tidak sepatutnya dilakukan . Berikut adalah
bentuk – bentuk parodi atas kasus Dinda
Dalam UU ITE, cyberstalking dapat dikategorikan sebagai
perbuatan yang dilarang, dimuat dalam pasal 27 ayat (3), dan ayat (4) UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) :
Pasal (3):
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Pasal (4):
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman”.Kebanyakan
hukum negara-negara di dunia yang mengatur mengenai stalking
mensyaratkan bahwa suatu perbuatan baru disebut sebagai kejahatan stalking apabila pelaku melakukan ancaman terhadap korban. Hal ini yang nampaknya juga diatur dalam UU ITE.
mensyaratkan bahwa suatu perbuatan baru disebut sebagai kejahatan stalking apabila pelaku melakukan ancaman terhadap korban. Hal ini yang nampaknya juga diatur dalam UU ITE.
Namun meski kasus ini sempat hangat dibicarakan dalam sosial media bahkan stasiun televisi , Kasus ini tidak berlanjut dalam pengadilan, karena pihak yang dirugikan ( Dinda dan Ibu Hamil ) sama – sama tidak memperkarakannya ke ranah hukum, dia juga merasa bersalah dan menyadari bahwa tidak seharusnya perbuatan di lakukan.










